Kutainews.com, Samarinda – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) meminta pemusatan kewenangan atas pertambangan dibatalkan.
Hal ini menyusul Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Direktorat Jendral Mineral dan Batubara yang mengeluarkan dua surat yakni nomor1481/30.01/DJB/2020 dan nomor 1482/30.01/DJB/2020 yang ditandatangani oleh Ridwan
Djamaludin.
Perihal masing-masing surat adalah kewenangan pengelolaan pertambangan mineral batubara kepada seluruh Gubernur se-Indonesia dan pendelegasian kewenangan
penerbitan perizinan sub sektor mineral dan batubara dalam pelaksanaan UU Minerba Nomor
3 Tahun 2020 dan UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 yang ditujukan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada Tgl 8 Desember lalu.
Jatam menyimpulkan, kebijakan ini bukan hanya sekadar pemusatan kembali dan pelucutan terhadap kewenangan pemerintah daerah.
Tapi penarikan kewenangan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap pemegang perizinan di bidang pertambangan akan semakin mempersulit akses warga daerah lingkar dan terdampak
pertambangan untuk melapor dan mengadu pada pemerintah yang berwenang karena semakin
jauh dan berjarak.
Kepala Divisi Hukum dan Advokasi Jatam Nasional Muhammad Jamil mengatakan, warga akan berhadapan dengan birokrasi yang tentu saja semakin jauh dijangkau dan nyaris tanpa adanya kepastian hukum bagi masyarakat korban pertambangan.
Tanpa kedua surat ini disahkan saja, kata Jamil warga daerah lingkar dan terdampak pertambangan
mengalami kesulitan saat mengadu dan melapor kepada pemerintah provinsi (saat masih berwenang) karena kawasan pertambangan biasanya di wilayah yang cukup jauh (remote area) dari pusat-pusat kekuasaan termasuk pemerintah provinsi.
“Ketika rentang birokrasi ditarik
semakin jauh lagi menjadi di Jakarta, maka akan menambahkan rintangan bagi warga untuk mendapatkan keadilan,” ujar Jamil dalam rilis tertulis diterima Kutai News Rabu (16/12/2020).
Tarik menarik kewenangan, lanjut Jamil tidak atasi krisis yang dihadapi warga terdampak. Jatam menilai dalam perumusan pengambilalihan kewenangan pertambangan mineral dan batu bara yang sentralistik ini tidak didasari oleh kajian komprehensif, sehingga keputusan desentralisasi hingga sentralisasi kewenangan tak pernah menjawab masalah sesungguhnya.
“Seharusnya, setiap perumusan kebijakan berangkat dari analisis masalah yang ilmiah dan
empirik di lapangan,” tukasnya.
Menurut Jatam, permasalahan-permasalahan sesungguhnya di wilayah lingkar tambang adalah gagalnya alokasi ruang tambang yang melampaui batas daya dukung dan beban ekologi di suatu wilayah, tidak adanya hak veto rakyat, sulitnya akses mendapatkan
informasi karena manipulasi, kriminalisasi dan pengusiran warga oleh pertambangan, korupsi
perizinan tanpa penegakan hukum hingga industri pertambangan yang menjadi sumber pembiayaan politik.
Oleh karena itu, solusi sentralisasi kewenangan hanya akan menggeser ruang korupsi dari daerah ke pusat, mendekati oligarki besar di Jakarta.
Tanpa memberikan hak veto rakyat atau instrumen hak mengatakan tidak dalam setiap rantai perizinan pertambangan, maka warga
lingkar pertambangan dan terdampak selalu jadi dan menghadapi krisis di manapun kewenangan itu beradDi dalam surat tersebut terdapat sejumlah hal yang telah dialihkan terhitung dari 11 Desember 2020, yakni pelayanan pemberian perizinan di bidang pertambangan minerba, pelaksanaan
pembinaan dan pengawasan terhadap pemegang perizinan di bidang pertambangan minerba, pelaksanaan lelang wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) mineral logam dan batu bara, pemberian WIUP mineral bukan logam, WIUP mineral bukan logam jenis tertentu dan WIUP
batuan, pemberian persetujuan rencana kerja anggaran biaya (RKAB)
Tahunan, pemberian persetujuan pengalihan saham pemegang IUP dan kewenangan lainnya berdasarkan UU
Minerba 4/2009. Layanan perizinan pertambangan minerba akan dibuka lagi oleh pemerintah pusat pada 11 Desember 2020 yang dilaksanakan melalui BKPM dan meminta kepada
Gubernur se-Indonesia untuk menyerahkan data kepada menteri ESDM Cq. Ditjen Minerba
sesuia dengan sistem basis data (database) dalam mineral one data Indonesia (MODI).
Sementara, dalam surat nomor 1482/30.01/DJB/2020 tentang Pendelegasian Kewenangan
Penerbitan Perizinan Sub Sektor Minerba yang ditujukan kepada Kepala BKPM dan gubernur seluruh Indonesia dalam rangka pelaksanaan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 dan UU Cipta
Kerja No 11 Tahun 2020 di antaranya adalah seluruh kewenangan pemerintah daerah provinsi
dalam pengelolaan pertambangan minerba akan beralih menjadi kewenangan pemerintah pusat
dan masa berlaku penundaan (moratorium) penerbitan perizinan baru di bidang pertambangan
minerba telah berakhir dan pelayanan izin pertambangan dibuka kembali melalui BKPM sejak 11 Desember 2020.[]
Editor : Tim Redaksi Kutai News
Diskusi Terkait Berita Ini