Kutainews.com, Samarinda – Matahari sudah naik sepenggalah tinggi. Suara – suara hempasan air, yang terdorong angin menabrak tepian sungai berkali-kali terdengar jelas.
Hari itu akan terjadi peristiwa penting. Siang yang biasanya ramai kegiatan pemerintahan, seketika sunyi. Hanya bisik-bisik pengawal di istana yang tebuat dari Kayu Ulin di Tepian Batu, atau Jahitan Layar, sebuah tempat yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara sayup-sayup terdengar.
Para abdi raja itu saling tatap, dan membincangkan sosok ulama yang akan beradu ilmu, dengan Raja Aji Mahkota, pemimpin Tanah Kutai.
Para penasihat raja merapal jampi. Sesaji disiapkan guna memastikan Sang Raja sukses melawan penantangnya. Seorang ulama dari Tanah Sumatera yakni Tuan Ri Tiro Pararang yang bernama asli Syekh Abdul Jawad Khatib Bungsu, yang sudah beberapa bulan berada di Tepian Batu.
Sejak awal kedatangannya sekira akhir tahun 1.600-an, ulama yang semula datang berdua dengan rekannya yakni Tuan Ri Bandang, sudah menjadi buah bibir. Lantaran, mereka datang ke Tepian Batu atau yang kini bernama Kutai Lama dengan mengendarai Hiu Parangan. Hingga Tuan Ri Tiro oleh masyarakat Kutai juga dikenal dengan nama Tuan Tunggang Parangan.
Kala itu, raja dan masyarakat Kutai kebanyakan masih menganut agama Hindu. Niat Datok Di Tiro mengislamkan masyarakat Kutai ditolak Raja Aji Mahkota. Hingga keduanya bersepakat beradu ilmu. Jika raja kalah, maka ia harus menerima Islam sebagai agamanya.
Sebagaimana raja, Aji Mahkota tentu memiliki kedigdayaan. Apalagi ia adalah keturunan dari Aji Batara Agung Dewa Sakti, sang pendiri Kerajaan Kutai Kartanegara. Demikian halnya Tuan Ri Tiro. Riwayat kedatangannya yang bikin heboh karena menunggang Hiu, sudah cukup membuktikan kalau ulama ini tak hanya menguasai ilmu agama.
Dan adu ilmu pun tak terelakkan. Siang itu, Sang Raja Aji Mahkota mengakui keunggulan Datok Di Tiro.
Kira-kira begitulah ilustrasi dari kejadian bersejarah, yang banyak dituturkan dan tercatat di banyak buku, yang menandai periode masuk dan menyebarnya Islam ke Tanah Kutai, melalui jalur politik dan pemerintahan. Tapi, sekali lagi itu hanya ilustrasi. Kejadian sebenarnya tiada dapat digambarkan secara nyata dan gamblang.
Dalam beberapa literatur yang menjadi rujukan yang menuliskan sejarah masuk dan menyebarnya Islam ke Tanah Kutai, buku berjudul : Perkembangan Islam di Kalimantan Timur, yang ditulis oleh Muhammad Nasir dan tim dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Samarinda atau yang kini bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Samarinda, menjadi rujukan yang paling banyak muncul.
Ilustrasi diatas, juga adalah mengambil rujukan dari buku yang diterbitkan pada tahun 2004 di Samarinda itu. Riwayat tersebut, tertulis pada halaman 49 hingga 50.
Demi mengetahui secara pasti, apa sebenarnya yang dimaksud dengan adu ilmu, yang dilakukan oleh Raja Aji Mahkota dan Tuan Tunggang Parangan. Kutai News, menghubungi sang penulis Muhammad Nasir, yang kini menjabat sebagai Wakil Rektor IAIN Samarinda. Melalui sambungan telepon, Nasir mengaku ia sendiri tak berani memastikan apa yang dimaksud dengan adu ilmu tersebut adalah adu kesaktian sebagaimana bayangan umum, dalam konteks ilmu tasawuf yakni ilmu laduni atau kanuragan. Atau, adu ilmu yang dimaksud adalah adu argument dalam diskusi teologis tentang ketuhanan.
Demi menjawab pertanyaan itu, Nasir membeber proses penulisan buku yang menjadi banyak referensi tersebut.
“Saya tulis buku itu bersama tim. Jadi ada 4 kerajaan Islam yang kami tuliskan. Salah satunya Kutai Kartanegara,” kata Nasir saat dihubungi Kutai News Senin 2 November 2020.
Dalam proses pengumpulan bahan, Nasir mengaku mendapatkannya dari buku-buku yang sudah terlebih dahulu diterbitkan khususnya catatan dan dokumen internal dari pemerintah daerah. Namun demikian, ada juga beberapa fakta-fakta sejarah yang ditulis dalam buku, bersumber dari hasil wawancara dengan para penutur sejarah yang diverifikasi kesahihannya.
Namun demikian, sekali lagi ia mengaku tidak bisa memastikan dan membuktikan secara empiris, frasa adu ilmu tadi dalam konteks seperti apa. “Itu perlu analisis lebih tajam,” katanya.
Secara pribadi, lanjut Nasir ia berpendapat bahwa ada kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan adu ilmu tadi adalah makna sebenarnya adu ilmu dalam bayangan publik. Yakni adu kesaktian, sebagaimana yang digambarkan dalam film-film laga.
Namun, ia juga mengemukakan adanya kemungkinan lain. Hal ini didasarkan pada proses masuknya Islam ke wilayah Nusantara, yang sebagian besar dilakukan secara damai, dan bukannya perang. Ada yang melalui jalur politik, juga jalur perdagangan hingga budaya.
“Kalau dilihat dari sisi tersebut, bisa jadi yang dimaksud dengan adu ilmu adalah adu argumen dalam diskusi tentang ketuhanan,” pungkas Nasir.
Namun yang pasti, dari peristiwa tersebut maka Sang Mubaligh berhasil mengislamkan raja Kutai Kartanegara pada tahun 1607. Hal ini berdasar pada berita dari Cristian Perals dengan mengutip kronikel Kutai, menjelaskan bahwa pada abad ke XVI, Datuk Ribandang datang ke Kutai bersama tuan Tunggang Parangan untuk
mengajarkan Islam.[]
Senarai Kepustakaan :
– Nasir. M dkk, Perkembangan Islam di Kalimantan Timur ; Samarinda: STAIN, 2004.
– Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa Abad 16 sampai Abad ke –17 , (Cet. II ; Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 95.
Tim Penulis :
1. Syaifuddin
2. Anon Asilem
Editor : Tim Redaksi Kutai News
Diskusi Terkait Berita Ini