Kutainews.com, Samarinda – Awal 2020, Pemerintah Kota Samarinda, berencana memindahkan pusat pemerintahan Kota Samarinda. Ada 4 lokasi yang menjadi pilihan. Salah satunya, Kelurahan Simpang Pasir, Kecamatan Palaran.
Alasannya, pasca penetapan lokasi di sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kabupaten Penajam Paser Utara sebagai Ibu Kota Negara (IKN) Indonesia yang baru, Samarinda sebagai salah satu kota penyangga, harus mengantisipasi keberadaan Ibu Kota Negara (IKN) dan mewujudkan Kota Samarinda sebagai Smart City.
Wacana ini, sedianya sudah bergulir sejak 2019. Pembahasan demi pembahasan, sudah dilakukan hingga sampai tahap perencanaan pembangunan, di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Tapi, kabar kelanjutannya nyaris tidak ada lagi.
Yang menarik, adalah masuknya kawasan Simpang Pasir, di Kecamatan Palaran dalam salah satu opsi lokasi. Lokasi ini dianggap strategis dan bisa menjadi penguat pemerataan pembangunan di wilayah seberang Sungai Mahakam.
Palaran, sebagai sebuah lokasi memang selalu menarik. Jauh berabad lalu, sebelum Kota Samarinda dipimpin Wali Kota Syaharie Jaang, Palaran, atau yang kala itu bernama Palarang, ternyata pernah menyandang sebagai lokasi penting, bagi pemerintahan di wilayah Kalimantan bagian timur.
Meskipun kini menyandang status sebagai sebuah kecamatan, di bawah pemerintahan Kota Samarinda, ternyata Kecamatan Palaran, menyimpan sejarah panjang.
Banyak riwayat, hingga sejarah khususnya yang berkaitan dengan Kalimantan Timur (Kaltim) yang belum banyak diketahui.
Salah satu yang patut dipelajari adalah fakta bahwa Palaran, atau yang dahulunya bernama Palarang, pernah menjadi ibu kota Kalimantan Timur.
Hal ini, diungkapkan tokoh, sekaligus Lurah Rawa Makmur, salah satu kelurahan di Kecamatan Palaran, Rudi Aries.

“Berdasarkan sejarah, Palaran adalah daerah yang tak terlepas dari pergerakan kemerdekaan Indonesia. Daerah palaran sempat ditunjuk sebagai pusat pemerintahan Belanda di era kerajaan Kutai. Tepatnya pada tahun 1846. ” ujar Rudi yang pernah menjabat Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kecamatan Palaran, dalam diskusi dengan Kutai News, Jumat (12/06/2020).
Merujuk kata Palarang, penamaan daerah di seberang Kota Samarinda ini, kata Aris memiliki arti pal dan arang yang bermakna tugu penanda (pal/patok) lokasi penambangan batu arang (batu bara).
Sementara sejarah Palaran menjadi pusat pemerintahan Kaltim berawal pada 11 Oktober 1844. Kala itu, Kesultanan Kutai Kartanegara melalui Sultan Muhammad Salehuddin menyatakan takluk kepada pemerintahan Belanda, setelah kalah dalam pertempuran di Tenggarong.
Gubernemen Belanda menempatkan Assistant Resident di Palarang untuk mengawasi wilayah Kerajaan Kutai di bagian timur. Palarang yang dimaksud adalah kawasan yang sekarang dikenal dengan Kecamatan Palaran, Kelurahan Rawa Makmur dengan jarak 8 mil (sekitar 13 kilometer) di hilir Samarinda.
Pejabat Assistant Resident pertama adalah H. Van de Wall sebagai wakil dari Resident der Zuider-en ooster-Afdeeling van Borneo. Belanda menetapkan wilayah Palarang sebagai pusat pemerintahan di Afdeeling Oost-Borneo karena merintis eksploitasi arang batu yang cukup potensial di sana.
Kedudukan Assistant Resident di Palarang yang melakukan pengawasan penuh terhadap Kesultanan Kutai berlangsung sampai tahun 1870. Selanjutnya, kedudukannya dipindahkan ke daerah seberang dari Palarang, yakni Samarinda kota sekarang.
Tahun 1888, sempat dimulai penambangan batu bara di Palarang.
Mungkin akan ada banyak versi tentang sejarah Kalimantan timur khususnya daerah palaran.
Tetapi yang saya yakini palaran benar pernah menjadi pusat pemerintahan Kalimantan timur karena sampai saat ini bukti-bukti sejarah itu bisa dilihat langsung kebenarannya. Kampung yang disebut sebagai Kampong Melanti, pal arang (patok/penanda) lokasi penambangan batu bara dan bukti lainnya masih ada sampai sekarang.
Rudi Aris sendiri, dikenal sebagai orang yang aktif menggalakan pengenalan sejarah Palaran kepada masyarakat, khususnya pemuda di Palaran. Lurah Rawa Makmur ini, sempat menginisiasi diskusi-diskusi sejarah dan kajian sejarah tentang Palaran tempoe doloe masa kini dan mendatang.
Ia mengaku menyayangkan karena daerah Palaran tidak banyak terekspos dalam tulisan-tulisan sejarah tentang Kalimantan Timur maupun Samarinda.
“Saya berharap Palaran akan lebih dikenal, karena Palaran bagian dari sejarah panjang pergerakan kemerdekaan Indonesia khususnya bagi pemuda Palaran itu sendiri,” pungkasnya.
Pendapat Pegiat Sejarah
Guna mendapatkan perbandingan, Kutai News menghubungi Muhammad Sarip. Pegiat sejarah Kalimantan Timur yang berdomisili di Kota Samarinda.
Sejarawan Lembaga Studi Sejarah Lokal Komunitas Samarinda Bahari (Lasaloka-KSB) ini menilai klaim Palaran sebagai ibu kota pertama Kalimantan Timur tak sepenuhnya salah. Tapi, ia juga menyebut klaim sejarah itu, tak sepenuhnya benar.
“Iya, Palaran pernah menjadi lokasi kedudukan pemerintahan Asisten Residen _Oost Borneo_ (Borneo Timur) sejak 1844 sampai 1870. Dipilihnya Palaran karena keperluan Belanda mengeksplorasi potensi batu bara,” ungkap Sarip dikonfirmasi Kutai News, Sabtu (13/06/2020).
Tahun 1844, lanjut Sarip adalah tahun awal pernyataan takluk Kesultanan Kutai Kertanegara kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Tahun 1870 adalah awal rencana Belanda membangun kawasan pusat pemerintahan Oost Borneo di Samarinda.
Dari fakta-fakta sejarah tersebut, Sarip menggarisbawahi penyebutan Palaran sebagai ibu kota Kalimantan Timur, yang dinilainya kurang tepat.
“Diksi Ibu Kota Kaltim kurang tepat. Yang tepat : Asisten Residen Borneo Timur. Itu pun, Palaran sebagai salah satu kampung di dalam Kota Samarinda. Sama tidak tepatnya, ketika menyebut Kampung Jawa sebagai Ibu Kota Kaltim kini. Walaupun lokasi Kantor Gubernur Kaltim, berada di Kelurahan Jawa, Samarinda,” jelas Sarip.
Penelusuran Kepustakaan
Merujuk dua pendapat diatas, Kutai News menelusuri catatan sejarah yang ada. Kami mendapati satu buku, yang ditulis oleh Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, yang terbit pada 1986, berjudul ‘Sejarah Kota Samarinda’.

Tim Penulis berisi Moh Nur Ars, Yunus Rasyid, dan Hasyim Achmad banyak mengutip catatan J Eisen Berger dalam buku tersebut.
Dari penelusuran Kutai News, banyak kesamaan cerita baik dari Lurah Rawa Makmur Rudi Aris, dan Sejarawan Muhammad Sarip dengan naskah dalam buku ‘Sejarah Kota Samarinda’.
Kami menyimpulkan, bahwa pendapat keduanya bisa jadi berasal dari naskah buku tersebut.
Dijelaskan pada halaman 10, buku ‘Sejarah Kota Samarinda’ tanggal 11 Oktober 1844 diadakan suatu perjanjian antara Sultan Salehuddin dari Kerajaan Kutai Kertanegara dengan .Amoldus Laurens Weddik sebagai wakil Gubememen Belanda yang isinya antara lain, Kerajaan Kutai Kertanegara mengakui kedaulatan Gubernemen Belanda.
Dengan ditandatangani kontrak tersebut, berakhirlah kemerdekaan Kerajaan Kutai Kertanegara sebagai kerajaan yang beraulat. (Karl Bock 1887; LXI – LXV).
Sebagai kelanjutan perjanjian itu Gubernemen Belanda menempatkan seorang pegawainya yang berpangkat asisten residen bernama Von De Wall di Pelarang (kurang lebih delapan mil di
hilir Samarinda).
Von de Wall menamakan Kota Samarinda dengan sebutan “Samarindah”. “Samarindah” terletak di sebelah “kanan mudik” Sungai
Mahakam. Penduduknya 5000 jiwa suku bangsa, yang terbanyak ialah Bugis Wajo dari Sulawesi Selatan. (Buku Sejarah Kota Samarinda, 1986 halaman 10)
Dari kutipan buku tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa benar Palaran atau dulunya bernama Palarang atau Pelarang pernah menjadi lokasi kedudukan Asisten Residen Borneo Timur, sebuah wilayah penting, bagi pemerintahan Belanda kala itu.[]
Tim Penulis :
1. Syafuddin
2. Fairus
Editor : Tim Redaksi Kutai News
Diskusi Terkait Berita Ini