Kutainews.com, Samarinda – Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, angkat bicara terkait curahan hati (curhat) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Marzuki Alie yang menyebut Megawati ‘kecolongan dua kali’.
Hasto, mengaku seketika teringat peatah lama yang berasal dari semboyan dalam bahasa Sansekerta Satyameva Jayate yang bermakna ‘Hanya Kebenaran Yang Berjaya’ merupakan semboyan bahasa Sansekerta.
“Kebijaksanaan ini mungkin sama dengan kebijaksanaan masyarakat Indonesia yang selalu percaya kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa dengan pernyataan seperti ‘Tangan Tuhan Bekerja’ bahkan lewat cara yang kadang tak disangka manusia itu sendiri,” kata Hasto dalam rilis diterima Kutainews.com, Rabu (17/02/2021).
Mungkin itu pula, kata Hasto yang kini dirasakan masyarakat Indonesia ketika seorang Marzuki Alie yang merupakan mantan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat menyampaikan kisah pengakuan SBY telah membuat Megawati Soekarnoputri ‘dua kali kecolongan’.
Yakni pada tahun 2004, ketika maju sebagai calon presiden. Padahal tahun 2004, publik masih segar mengingat bahwa SBY yang bertindak sebagai seakan-akan sebagai sosok yang dizolimi.
“Dalam politik kami diajarkan moralitas politik yaitu satunya kata dan perbuatan. Apa yang disampaikan oleh Marzuki Ali tersebut menjadi bukti bagaimana hukum moralitas sederhana dalam politik itu tidak terpenuhi dalam sosok Pak SBY, ” tukas Hasto
Terbukti, lanjut Hasto bahwa sejak awal SBY memang memiliki desain pencitraan tersendiri termasuk istilah ‘kecolongan dua kali’ sebagai cermin moralitas tersebut.
Jadi kini rakyat bisa menilai bahwa apa yang dulu dituduhkan oleh Pak SBY telah dizolimi oleh Bu Mega, ternyata kebenaran sejarah membuktikan bahwa Pak SBY menzolimi dirinya sendiri demi politik pencitraan.’
Dalam konteks itu, Hasto mengaku teringat sebuah kisah yang disampaikan oleh almarhum Prof. Dr. Cornelis Lay. Bahwa sebelum SBY ditetapkan sebagai Menkopolhukam di Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri, saat itu ada elite partai yang mempertanyakan keterkaitan SBY sebagai menantu Sarwo Edhie yang dipersepsikan berbeda dengan Bung Karno, dan juga terkait dengan serangan kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996.
Namun sikap Megawati Soekarnoputri yang lebih mengedepankan rekonsiliasi nasional dan semangat persatuan tetap mempercayakan jabatan itu ke SBY.
“Saya mengangkat Pak SBY sebagai Menkopolhukam bukan karena menantu Pak Sarwo Edhie. Saya mengangkat dia karena dia adalah TNI, Tentara Nasional Indonesia. Ada ‘Indonesia’ dalam TNI sehingga saya tidak melihat dia menantu siapa. Kapan bangsa Indonesia ini maju kalau hanya melihat masa lalu? Mari kita melihat ke depan. Karena itulah menghujat Pak Harto pun saya larang. Saya tidak ingin bangsa Indonesia punya sejarah kelam, memuja Presiden ketika berkuasa, dan menghujatnya ketika tidak berkuasa” ungkap Hasto menirukan ucapan Megawati sebagaimana disampaikan Prof. Cornelis.
Jadi, Hasto mengatakan kini baik SBY maupun Marzuki Alie justru sedang menegaskan apa yang disampaikan Pak Marzuki Ali itu bagian dari dialektika bagi kebenaran sejarah itu.
“Dengan pernyataan Pak Marzuki itu, saya juga menjadi paham, mengapa Blok Cepu yang merupakan wilayah kerja Pertamina, paska pilpres 2004, lalu diberikan kepada Exxon Mobil. Nah kalau terhadap hal ini, rakyat dan bangsa Indonesia yang kecolongan.” pungkasnya.[]
Editor : Tim Redaksi Kutai News
Diskusi Terkait Berita Ini